Hamil di Luar Nikah dengan Kekasih, Tak Ada yang Tahu Bahkan Keluarga Sendiri hingga Aku Melahirkan

Reporter : M. A. Adam Ramadhan
Rabu, 13 Mei 2020 18:27
Hamil di Luar Nikah dengan Kekasih, Tak Ada yang Tahu Bahkan Keluarga Sendiri hingga Aku Melahirkan
Sebuah Kisah.

Ini adalah kisah dari seorang perempuan yang hamil di luar nikah dengan pacarnya sendiri. Segala emosi yang campur aduk ia pendam sendiri, tak ada satu pun yang tahu bahwa ia sedang hamil kecuali Angga, pacarnya, bahkan keluarganya sekalipun. Kisah ini dibagikan olehnya di akun Twitter @kocheeeeeeeng

Selamat menikmati!

1 dari 18 halaman

Pacarku Bernama Angga, dan Aku Hamil

Perkenalkan, pacarku bernama Angga (sebut saja demikian, ya. Kami mulai berpacaran ketika aku sedang kuliah di semester 5, sedangkan Angga masih duduk di bangku SMA kelas 2. Ya, umur kita berselisih tiga tahun. Aku lebih tua darinya. Aneh? Ya, bisa jadi.

Pacaran ala kami bisa dibilang pacaran seperti anak muda lainnya. Yang hanya sekedar memiliki hubungan status, an belum ada sama sekali terlintas tentang keseriusan. Dua tahun berpacaran belum ada yang namanya saling kenalin diri ke orang tua masing-masing. Kita pung jarang sekali ketemu, paling makan dan hang out aja.

Tapi, memang ada kalanya kami merencanakan suatu pertemuan untuk melakukan hal yang biasa dilakukan suami istri. Kami berdua sudah tidak lagi kaku mengenai hal ini, karena kami sebenarnya sudah pernah melakukannya dengan mantan-mantan kami.

2 dari 18 halaman

Dalam 2 tahun pacaran, bercinta di atas ranjang bisa dihitung dengan jari. Mungkin hanya 5 kali. Tapi, kami tidak pernah menggunakan yang namanya pengaman. Aku akui ini memang suatu kesalahan yang seharusnya nggak kami lakukan. Terlebih, bisa dibilang aku adalah seorang anak yang dibanggakan orang tuaku. Tapi malah melakukan hal sebaliknya.

Selain tidak memakai pengaman, Angga selalu mengeluarkannya di dalam.  Hingga pada yang ke-5 kalinya aku bercinta dengannya, hal yang tidak diinginkan pun terjadi.

Ketika ‘melakukannya’, ternyata aku telat menstruasi. Deg-degan dengan apa yang terjadi selanjutnya, sibuk sana –sini termasuk pikiran, hingga pada suatu waktu aku pun menggunakan testpack kehamilan untuk mengecak kebenarannya.

3 dari 18 halaman

Dan hasilnya? Ya, Positif!

Aku merasa shock berat. Jantungku berhenti tiba-tiba, termasuk waktu. Saking shocknya, aku sampai tidak bisa menangis padahal keinginan sangat besar.

“ Harus bagiamana ini?” teriakku dalam hati.

Aku pun mengabari Angga, dan respons dia masih santai. “ Tenang dulu sayang. Coba lagi besok, dites lagi. Mungkin itu hasilnya salah.” Hatiku tidak tenang bukan main. Setelah menimbang-nimbang, kubuang tespack itu jauh-jauh untuk menghilangkan jejak, dan kuputuskan untuk melakukan tespack lagi satu minggu kemudian.

Dan hasilnya? Oh jelas, tetap positif.  Aku pun menghubungi Angga dan mulai memikirkan gimana ke depannya. Perasaan panik tentu mengelilingi kami, tapi entah kenapa masih ada perasaan santai di sana.

4 dari 18 halaman

Aku pun punya pikiran untuk menggugurkan kandungan ini. Tapi, Angga selalu menolak dan berkata bahwa dia siap untuk bertanggung jawab.

“ Kita usaha hilangan (kandungan ini) gimana?” tanyaku ke Angga.

“ Jangan, itu anak kita. Aku mau tanggung jawab.”

“ Aku nggak mau ibu sampai tau. Pokoknya aku gak mau sampai tau apa yang sedang terjadi. Kita harus hilangin ini, gimana pun caranya.”

“ Jangan, kamu nggak kasian sama anakmu sendiri?”

“ Kenapa? Nggak mau? Kalau nggak mau, kita putus aja!”

Di situ aku merasa bodoh. Gimana mungkin saat aku lagi hamil tapi malah minta putus? Benar-benar nggak habis pikir.

Tapi yang kulakukan kemudian adalah mencari di kolom internet gimana caranya untuk menggugurkan kandungan ini, sepanjang hari.

5 dari 18 halaman

Aku pernah nemu, salah satu caranya adalah dengan memakan nanas yang dicampur dengan minuman bersoda yaitu Sprite. Aku pun langsung mencobanya. Dalam beberapa hari aku makan ini terus demi menggugurkan kandungan. Bahkan setiap pergi ke kampus, aku selalu membawa Kiranti, begitu juga dengan obat pelancar menstruasi.

Hasilnya? Nihil. Tidak ada pengaruh sama sekali.

Aku pun menghubungi Angga lagi. Sementara aku ingin gimana caranya agar kandungan ini lenyap, Angga tetap pada pendirianya untuk bertanggung-jawab. Dan bodohnya, aku selalu marah, tetap pada pendirianku bahwa kandungan ini harus lenyap.

6 dari 18 halaman

Pergi ke Dukun

Hingga pada suatu hari Angga pun mendukungku. “ Aku punya temen yang punya kenalan dukun yang bisa gugurin kadungan. Gimana?”

“ Oke, ayo ke sana. Kapan? Atur waktu!” Jawabku bersemangat. Kalau lagi buntu ya gini, dukun pun langsung percaya aja.

Singkat cerita, kami pun bertemu dengan dukun itu, namanya Pak Wowok. Angga memulai pembicaraan dengan menceritakan gimana kejadiannya kepadanya.

Setelahnya aku pun masuk ke sebuah ruangan bersama Pak Wowok untuk menjalani sebuah ritual. Aku diminta rebahan dan membuka baju hanya sebatas perut. Mulut Pak Wowok berkomat-kamit membaca doa sambil memegang perutku.

7 dari 18 halaman

Selain itu, Pak Wowok juga menggunakan alat semacam telur bentuknya, namun sebenarnya itu dari batu. Batu itulah yang digunakan pada perutku dengan bacaan-bacaannya.

Ritual pun selesai dan kami berdua pulang. Memang, rasanya agak ada yang berbeda. Beberapa hari kemudian aku keluar darah. Bukannya panik, aku malah senang.  “ Apakah ini tanda sebuah keberhasilan?” Semacam itu.

Kami berdua pun ke Pak Wowok lagi dan menceritakan hal tersebut. “ Sudah mulai luruh, Mbak,” katanya. Wah, aku senang bukan main. Setelahnya aku pun menjalani ritual telur dan bacaannya lagi seperti yang dilakukan awal.

8 dari 18 halaman

Namun, kali ini ada yang berbeda. Pak Wowok memohon izin untuk mengambil satu rambut halus kemaluanku. Karena ini bagian dari ritual, aku pun mengiyakan dan tidak risih sama sekali, dan memang tidak ada unsur pelecehan seksual sama sekali, kok.

Rambut kemaluan yang dicabut tadi pun dimasukan ke dalam segelas air yang ada bunga wamarnya. Kemudian Pak Wowok membacakan sejenis doa-doa dan aku pun diminta untuk meminumnya hingga habis. Namun, setelah habis sisa-sia bunga mawarnya masih ada dan ia memintaku untuk dibuang ke sungai.

“ Semoga segera hilang ya, Mba,” ucap Pak Wowok.

9 dari 18 halaman

Hari demi hari berlalu, tapi tetap aja; tidak ada yang terjadi. Aku pun masih melakukan hal-hal yang biasa aku lakukan untuk menghilangkan janin ini, seperti makan nanas campur sprite, kiranti, dan lain-lain. Di saat-saat seperti ini, Angga menyuruhku menyerah dan mempertahankan bayinya karena ia siap untuk bertanggung jawab.

Namun aku tetap kekeuh. Pernah suatu waktu aku menemukan ada penjual jamu gerobak yang khusus menggurkan kandungan. Aku pun memaksa Angga untuk membelinya. Sengaja aku meminumnya sebelum tidur agar Ibu di rumah tidak curiga.

Tapi, tetap saja. Tidak ada yang berubah. Janin itu masih tetap ada. Setiap pagi aku selalu muntah-muntah. Kusetal lagu keras-keras di dalam kamar mandi agar Ibu maupun orang rumah tidak curiga.

10 dari 18 halaman

Untuk terakhir kalinya, kamu berdua pun menemui Pak Wowok. Tapi, beliau ternyata juga menyerah. Ini pertama kalinya ada seorang wanita yang bayi janinnya sudah dihilangkan. “ Mungkin sudah takdirnya, Mbak. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Nanti, kalau lahir, jangan disia-siakan, ya! Kalau tidak ada yang mau merawat, bawa saja ke sini. Masih banyak yang ingin memiliki anak tapi belum dikasih. Nanti biar diadopsi mereka.”

Namun, apakah benar? Apakah benar aku harus mempertahankannya? Apakah benar aku harus melahirkan bayi ini?

Aku pun pulang dengan tangan kosong. Aku menjalani kehidupan sehari-sehari seperti biasanya di rumah seakan tak terjadi apa-apa.

11 dari 18 halaman

Kandungan di bulan ke-5 pun  tiba, dan perut mulai membesar.  Namun, tak ada satu pun orang rumah yang menyadarinya. Mungkin karena memang pada dasarnya badanku memang berisi? Entahlah, curiga pun tidak.

Berbulan-bulan kemudian masih tidak ada yang menyadarinya kecuali pacarku, Angga. Aku bahkan sudah merasakan bayi di perutku ini menendang. Di satu sisi aku senang tidak ada yang tahu, tapi di satu sisi aku takut bukan main. Angga memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya kepada kedua orangtuaku, tapi aku selalu menolak. Takut.

Hingga tiba hari mendekati kelahiran, kakiku mulai membengkak. Ibuku menyadari hal ini dan bertanya, “ Kok kakimu bengkak?”

“ Kecapekan mungkin, Bu,” jawabku.

Di dalam hati, aku hanya berkata, mana mungkin ada kaki bengkak karena kecapekan?

12 dari 18 halaman

Di Keluarga Angga

Dan hari itu pun tiba. Pagi hari itu perutku mulas, persis seperti PMS. Darah cokelat pun terlihat. Aku cari tahu kenapa di google, ternyata hari itu adalah hari kelahiran bayiku!

Aku pun langsung memberi tahu Angga, dan dia nekat memberi tahu Ibu dan Ayahnya kalau aku, pacarnya, hamil dan akan melahirkan.

Kukira bakal berakhir panas. Namun, ternyata kedua orangtuanya menerima keadaan tersebut dan aku pun diminta untuk ke rumahnya segera, dan Angga pun jemput aku di rumah. Karena bingung harus gimana izin ke Ibu, aku pun berbohong akan menginap di salah satu rumah temanku yang bernama Nayla, dan aku pun diizinkan.

13 dari 18 halaman

Sampai di rumah Angga, kukira suasana akan panik. Namun ternyata adem-ayem. Ayah Angga bahkan berkata begini: “ Tidak apa-apa, namanya juga anak muda. Jadi, sekarang ini maunya apa?”

Keluarga Angga menyarankanku untuk memberi tahu kedua orangtuaku tentang keadaan yang sebenarnya. Awalnya aku tetap kekeuh tidak mau, tapi aku akhirnya aku setuju untuk memberi tahu kedua orangtuaku tapi setelah selesai lahiran.

14 dari 18 halaman

Hari Kelahiran

Saat-saat kelahiran itu pun tiba.

Aku berada di klinik bidan terdekat dari rumah Angga. Di sana, aku didukung penuh oleh keluarganya, dan Angga pun selalu dekat denganku, selalu di sisiku. Semakin lama, perut ini semakin sakit, hingga akhirnya menangis tak kenal henti.

Fokus dengan kelahiran bayiku, pikiran tentang ibuku pun kubuang jauh-jauh. Pembukaan terjadi dan terus bertambah, dan rasa sakitnya beneran bukan main.

Hingga tiba akhirnya di pembukaan ke-10, itu berarti aku sudah siap melahirkan. Kemudian dalam 3 kali mengejan, bayiku pun lahir. Ah, sudah seperti di ujung maut rasanya.

Setelah itu, ingatan-ingatan yang aku pernah lakukan pun muncul, tentang kejahatan yang pernah kucoba terhadap bayiku. Aku menangis hingga gemetar. Melihat bayiku benar-benar sehat dan sempurna, aku merasa seperti ingin bunuh diri karena diselimuti perasaan bersalah.

15 dari 18 halaman

Tentang Ibu

Malam itu aku menginap di bidan. Paginya, Ayah Angga dan Pamannya meminta izin kepadaku untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Ibuku. Kali ini, aku hanya pasrah. Sebab aku sadar ini sudah terlalu jauh dan mau gimana pun, yang disembunyikan akan terungkap juga.

Mereka pun berangkat dan aku hanya menunggu dengan cemas. Jam dinding terus kulihat saking khawatirnya. Aku adalah anak kesayangan orangtua, dan tiba-tiba hamil dan melahirkan? Aku tidak bisa membayangkan gimana Ibu nanti ketika tahu semua ini.

Tak lama setelah itu, mereka berdua pun kembali ke bidan. Mereka pun mengatakan bahwa Ibu langsung shocked.  Katanya, ibu tak bisa berkata-kata selain menangis dan berteriak. Mendengarnya, aku pun menangis.

16 dari 18 halaman

Kapan Ibu akan menemuiku? Memikirkannya aku semakin gelisah. Rasanya, diri ini masih belum sanggup. Ketika malam tiba, Ayah dan Ibu pun tiba di bidan aku menginap.

Aku menangis sampai teriak, sementara ibu hanya menatap kosong mataku dan berkata, “ Kok bisa?”

Keluargaku dan keluarga Angga pun berdiskusi, gimana baiknya ke depannya. Yang jelas dalam waktu dekat, aku dan Angga akan menikah, dan itu adalah sebuah keharusan.

Di sisi lain, aku jadi teringat keluargaku yang lain, teman-teman, dan tetangga masih belum ada yang tahu dengan kejadian ini.

17 dari 18 halaman

Hari Pernikahan

Aku dan Angga pun menikah dan menggelar resepsi besar-besaran. Aku senang sekaligus terharu. Walaupun sudah mengetahui anaknya yang seperti ini, Ibuku masih mau mengadakan resepsi untukku.

Sementara itu, anakku dititipkan alias disembunyikan di rumah Angga. Hingga barulah setelah beberapa bulan kemudian, anakku ditampilkan di publik, ceritanya baru lahir. Tidak ada yang curiga. Hamil sebelum menikah ternyata bukan hal yang tabu di daerah kami.

Beberapa awal pernikahan, memang rasanya menegangkan sekali. Mungkin orangtuaku masih belum menerima keadaan aku yang hamil di luar nikah dan sampai melahirkan. Tapi, lama-kelamaan semua menjadi biasa aja. Anakku? Duh, dia disayang banget sama orang-orang.

18 dari 18 halaman

End

Hingga ditulisnya kisah ini, anaknya sudah tumbuh besar. Dia menjadi kesayangan kakek-neneknya.  Mereka hidup bahagia.

Kisah ini memang tidak bisa dijadikan pembenaran, tapi setidaknya bisa dijadikan pembelajaran untuk setiap orang yang membacanya dalam menjalani kehidupan dan hubungan dengan kekasih tercintanya.

Beri Komentar