Ngebet Ingin Pacaran tapi Malah Sering Kena Serangan Panik Saat Jalin Hubungan, Maunya Gimana sih?

Reporter : Firstyo M.D.
Senin, 21 Februari 2022 18:40
Ngebet Ingin Pacaran tapi Malah Sering Kena Serangan Panik Saat Jalin Hubungan, Maunya Gimana sih?
Curahan hati seorang Diazens yang menemui benturan antara keinginan dengan reaksi psikologisnya soal urusan asmara

Halo Dokter Dora, eh Dona.
 
Saya Hari, seorang perempuan dewasa muda yang, entah kenapa, saya kesusahan untuk jatuh suka. Saya punya kamus sendiri akan tingkatan sayang. Tahapan awal, kagum - suka - sayang. Iya, tak ada kata cinta di kamus saya. It’s simply because I haven’t fallen that far for someone. Saya pun meragukan diri yang akan berumur 23 ini pernah menyayangi seseorang dengan begitu dalam.
 
Saya ingin bercerita panjang saja, namun jikalau Dokter Dona miliki sebuah informasi, solusi dengan tingkat akurasi yang tinggi, I’m all ears.

1 dari 7 halaman

Awal tahun lalu, saya sempat berdekatan dengan seorang pria muda, lebih muda dua tahun dari saya. Bisa dikatakan dia baik, lucu, perhatian, sangat sabar, dan suka lempar gombalan. Ah, wajahnya pun manis, senyumnya juga, bahunya lebar.   Saya tak menyukai sesuatu yang ribet seperti PDKT kepanjangan. Apa tujuannya? Tak ada, menghabiskan waktu saja. Saya ingin tahu pribadi buruknya daripada kata manis kosongnya. Agar saya bisa langsung menimbang, apakah saya bisa mengimbangi ini orang, begitupun sebaliknya.

Saya pun tak akan paham kalau seseorang ingin menjalin hubungan lebih dari teman. Kecuali, dia bilang secara langsung, tanpa basa-basi, atau lempar kode sana-sini. Hubungan awal saya dan dia pun, dimulai dengan, “ Mau PDKT nggak?” Kalau jawabannya iya, skuy. Kalau jawabannya tidak, skuy juga. Toh, kita masih bisa berteman dengan damai.

Pada waktu pertanyaannya di atas muncul di chat WA, saya langsung cemas berlebihan. Namun, karena saya sangat penasaran, seperti apa sih rasanya berpacaran? Akhirnya, saya iyakan. Karena kesepakatan awal adalah PDKT, akhirnya kita saling berbagi cerita soal kehidupan, keluarga, ideologi, teman sebaya, dan diri sendiri.

2 dari 7 halaman

Saya tak menyukai seseorang yang ketakutan jika saya ajak debat, pun jika isi kepalanya hanya mengalah saja. Come on, it’s not a parent-child relationship! Verbalize your words, out loud. Untungnya, dia punya pemikiran uniknya sendiri. Kita pun saling memahami keinginan dan privasi masing-masing, asalkan saling bertukar kabar jika sedang ada kegiatan di luar.

Setelah dua minggu, saya sudah bisa menerka kepribadian pun kebiasaan si dia. Ya, saya cepat menilai seseorang, ditambah dia berbagi banyak cerita. Karena saya rasa kita satu jalur kepribadian dan pemikiran, akhirnya saya ajak dia langsung berpacaran. Diapun setuju, karena apapun statusnya, keseharian dan intensitas kita chat dan bertemu tetap sama.

Masalahnya, setelah status berpacaran itu menempel di hubungan kita, setiap sore, saya mengalami panic attack. Sekitar jam 5, badan saya mulai gemetaran, tangan dan kaki kedinginan, tapi punggung saya kepanasan. Gemetaran hebat sampai saya tak bisa membuat latte art sederhana (pada waktu itu, saya masih part-time sebagai barista). Ah, beberapa kali juga saya menangis tiba-tiba, sewaktu bekerja.

3 dari 7 halaman

Menjelang malam, badan saya sudah sedikit tenang. Akan tetapi, saya tak bisa tidur. Saya pun jarang lapar. Sekalipun ingin makan, selalu ada rasa mual. Saya hanya bisa minum susu rasa Melon saja. Susu ini pun susah dicari, duh! Terkadang, sampai jam 5 pagi, saya baru bisa mengistirahatkan badan. Tidur pun saya mimpi buruk, lol. Dia selingkuh lah, dia hilang lah, dia tak ada di bumi lah.

Hal ini membuat saya harus menggigit 1 pil obat maag setiap pagi. Saya tak paham cemas ini datang dari mana. Saya pun hanya bisa tenang di saat ada rokok di tangan. Huh, saya sadar, saya terlalu baru dalam urusan ranjang, eh maksud saya persukaan. Teman-teman pun menyarankan untuk, “ take it slow, jalanin aja dulu, Har.”

Yang saya balas dengan, “ Apa sih yang harus di take it slow? Apa yang harus dijalanin aja dulu?” Saya yang sakit tiap pagi? Saya yang harus mengulang membuat orderan latte dan cappucino? Paru-paru saya yang terus mengosongkan isi dompet? Hell, no. I couldn’t take it anymore.  

4 dari 7 halaman

Setelah satu minggu menjalin hubungan pacaran, saya pun bilang hal-hal yang saya alami ke dia. Dia pun balik bertanya, ingin saya apa: ingin tetap lanjut, balik ke PDKT, atau jadi teman dulu. Awalnya kita udahan, wkwk, balik ke teman. Namun, masih dengan intensi untuk lanjut berpacaran di depan. Setelah status pacaran itu hilang, saya tak sering mengalami panic attack.

Akan tetapi, saya malah jadi semakin ketakutan. Saya tak bisa sendirian saat malam datang, harus ada seseorang yang bisa saya ajak bicara. Semua teman saya ajak ngopi, telepon, apapun itu, asalkan ada cerita lucu, baru yang bisa membuat saya lupa terhadap takut. Takut karena ternyata, saya mulai suka ini anak.

Ya, saya baru sadar karena ada teman yang bilang, bahwa tingkah saya pada waktu itu berbeda dengan Hari yang biasanya tak peduli dengan urusan beginian. Saya pun kebingungan, iya apa suka? Apa sih sebenarnya perasaan suka? Teman pun tertawa, dan menjelaskan dengan sabarnya, bahwa apa yang saya alami adalah kaget, kaget dengan emosi yang berlebihan yang saya alami secara bersamaan, yang selalu buat saya tak tenang. Setelah saya mengiyakan, dan mengulang perkataan “ saya suka dia” di kepala, saya kembali menangis.

Merasa lega. Ah, ternyata saya suka dia. Namun, besoknya, rasa panik itu datang lagi. Hanya dengan sadar saya suka si dia, takut yang berlebihan itu hadir lagi. Yang semakin membuat saya enggan, jikalau status berpacaran itu menempel lagi. Kita cocok, tapi, entah kenapa, kepala saya selalu bisa cari alasan kenapa kita tidak cocok. Teman yang lain bilang, kalau saya terlalu mengedepankan logika. Tapi, saya tak bisa menghentikan proses berpikir yang terlalu over ini. I really couldn’t. I couldn't even fall asleep. I couldn’t read my favorite books, novels, and comics. I couldn’t listen to music without crying in silence.  

5 dari 7 halaman

Setelah beberapa hari kembali menderita, saya pun kembali bercerita ke dia. Melampiaskan apa saja yang ada di kepala. Saya pun jujur, bilang kalau saya sudah suka dia. Dan, di saat bersamaan, saya ingin udahan saja. Benar-benar tak ada lagi kontak. Saya ingin move off. I liked you, but I didn’t want to. Terserah saya dicap perempuan seperti apa, asalkan saya bisa tenang, lebih baik kita sudahi saja. Dan, dia tak pernah menyalahkan saya. Benar-benar, sangat sabar dan perhatian. Dia pun bilang, kalau saya sudah tenang, boleh kok untuk menghubungi dia lagi, ngopi bersama lagi.

Saya pun kebingungan. Saya sudah kurang ajar, sangat plin-plan, tapi kok tidak disalahkan, tidak marah, tidak kesal? Apakah ini yang harus dilakukan jika manusia menjalin hubungan? But, okay, thank you and I’m so sorry, Vin. Terima kasih karena sudah membuat saya sadar, bahwa ada luka psikologis lama yang harus saya selesaikan. Takut yang saya alami, ternyata datang dari lingkungan sekitar.   Setelah berbulan kemudian, akhirnya saya sudah bisa melupakan. Sekadar perasaan suka yang baru bisa hilang setelah berbulan-bulan kemudian. Huh, setelah diterpa emosi yang sangat tidak stabil, saya pun belajar untuk tidak jatuh suka lagi. Well, kagum tak apa, asal jangan suka, apalagi sayang, apalagi cinta. I am not at that level yet, so don’t, me! That’s too hard for the current you. Tapi, saya masih sangat penasaran dengan suatu hubungan pacaran yang orang lain rasakan dan lakukan.

Haah, saya ingin punya pacar. Saya ingin suka seseorang. Saya ingin merasakan asam garam, lika-liku percintaan, Dokter Dona :" (

6 dari 7 halaman

Tanggapan Dokter Dona

Hai Hari, yang nggak jelas Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, atau Minggu. Setelah beberapa kali menanggapi curhatan Diazens, baru kamu nih yang berani memplesetkan nama Dokter Dona. Selamat ya, kamu dapat tepuk tangan tanda salut dari redaksi Diadona.

Selalu menyenangkan punya Diazens yang terbuka menceritakan segala problematika kehidupannya lewat Dokter Dona. Yah, walaupun perlu dicamkan pula jika predikat 'Dokter' yang Dokter Dona sandang ini sebenarnya hanyalah branding semata. Dokter Dona lebih seperti teman yang sebisa mungkin tidak akan menjadi judgmental untuk semua hal yang kamu ceritakan, tapi kalau ternyata solusi dari permasalahanmu kira-kira berhubungan dengan medis, tentu Dokter Dona akan menyarankanmu buat datang ke dokter sungguhan.

Anyway, membaca ceritamu yang kerap didatangi serangan panik, Dokter Dona hanya bisa menyarankan agar kamu meminta bantuan pada tenaga ahli, Hari. Apalagi kamu sudah nggak menemukan jawaban yang kamu cari waktu berbincang dengan teman-teman. Sudah bosan kan dapat saran 'take it slow' terus, seolah-olah kamu adalah Valentino Rossi yang berkendara 120km/jam di pemukiman padat penduduk? Berbincang dengan psikolog bakal membuka cakrawala tentang situasi diri.

Masalah pacaran, berdasarkan cerita di atas kamu sepertinya adalah perempuan yang nggak segan untuk menyampaikan isi kepalamu lebih dulu, bahkan soal menyatakan cinta sekalipun. Ini adalah hal yang sangat bagus sih karena artinya kamu sudah aware dengan perasaanmu sendiri dan nggak terlalu memusingkan ini itu. Dokter Dona juga merasa--tolong dikoreksi kalau ternyata sok tau ya--kamu adalah orang yang sangat penuh pertimbangan. Jangan merasa buruk gara-gara punya pemikiran semacam ini, sebaliknya, hal ini malah bisa jadi poin plus yang belum kamu sadari. Orang yang penuh pertimbangan kayak kamu ini adalah orang yang bakal sangat menghargai apa yang dimiliki nantinya. Pengen pacaran di usiamu adalah hal yang sangat wajar, tapi jangan sampai demi memuaskan pengen-pengenan ini kamu jadi mengorbankan hal lain yang lebih besar. Berpeganglah pada prinsipmu dan tetap peka terhadap sekeliling, niscaya kamu bakal menemukan orang yang pas untuk jadi pasanganmu, cepat atau lambat.

That's all, Hari. Semoga jawaban ini bisa membantu, atau setidaknya berhasil meringankan isi kepalamu setelah nulis segala keluh-kesah di atas. Tolong jangan protes kalau informasinya biasa aja ya, lagipula kamu sudah bilang kalau 'cuma ingin bercerita panjang saja' di awal surat.

Cheers!

Beri Komentar