© Shutterstock
Mungkin kamu pernah atau bahkan sering menjumpai seseorang yang mampu meraih kesuksesan dan terlihat menikmati hidupnya. Tapi siapa sangka, di balik keberhasilannya itu, nyatanya ada tekanan atau segudang masalah yang ditutupi, agar ia selalu terlihat baik-baik saja. Nah, kondisi ini disebut duck syndrome.
Ilustrasi Bebek © Shutterstock
Istilah duck syndrome pertama kali dikemukakan di Standford University untuk menggambarkan orang yang tampak tenang meskipun sebenarnya mengalami gangguan kecemasan berat.
Istilah ini menganalogikan bebek yang berenang seolah sangat tenang, tapi kakinya berjuang keras untuk bergerak agar tubuhnya tetap bisa berada di atas permukaan air.
Hal ini sama persis dengan orang-orang yang di mana mereka terlihat tenang dan baik-baik saja, tapi sebenarnya ia mengalami banyak tekanan dan kepanikan dalam mencapai tuntutan hidupnya. Misalnya nilai bagus, lulus cepat, atau hidup mapan, atau memenuhi ekspektasi orang tua dan orang di sekitarnya.
Duck syndrome sampai saat ini belum secara resmi diakui sebagai gangguan mental. Fenomena ini dialami oleh mereka yang masih berusia muda, misalnya siswa, mahasiswa, atau pekerja.
Meski merasakan banyak tekanan dan stres, sebagian penderita duck syndrome masih bisa produktif dan beraktivitas dengan baik. Meski begitu, orang yang mengalami duck syndrome juga berisiko untuk mengalami masalah kejiwaan tertentu, seperti gangguan cemas dan depresi.
Ilustrasi Duck Syndrome © Shutterstock
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang untuk mengalami duck syndrome:
Keduanya memang terlihat mirip, tapi berbeda. Duck syndrome lebih fokus kepada orang-orang yang disebut dengan ‘duck face’ atau orang yang mengemas image mereka dan terlihat berhasil di media sosial atau di lingkungannya, tetapi kenyataannya mereka mengalami frustasi, kecemasan, keraguan, bahkan kegagalan yang ditutupi.
Ilustrasi Konseling © Shutterstock
Seseorang yang mengalami duck syndrome bisa saja diakibatkan adanya gangguan psikologis lainnya. Oleh karena itu, butuh diagnosa terlebih dahulu.
Kamu bisa melakukan terapi dengan cara mengurangi kondisi medis apapun yang bisa memperburuk depresi, kecemasan dan gangguan mental lainnya. Contohnya seperti terapi gaya hidup, perubahan perilaku, psikoterapi, pemberian obat-obatan untuk menjaga gula darah tetap stabil, serta obat untuk menenangkan emosi yang berat.
Selain itu kita juga harus berlatih untuk menerima diri sendiri dan melakukan self love.
Pengen Body Goals Kayak Zhao Lusi? Ini Rahasia Diet 'Ratu Drama' yang Sukses Turun 16 Kg!
Pengen Body Goals Kayak Zhao Lusi? Ini Rahasia Diet 'Ratu Drama' yang Sukses Turun 16 Kg!
Pigmenta Nusantara, UIFW Hadirkan Dialog Tradisi dan Keberlanjutan Lewat Trunk Show Eksklusif
Bukan Sekadar Main-Main, Ini Panduan Santai Mengenal Fase Motorik Anak dan Cara Melatihnya

Pigmenta Nusantara, UIFW Hadirkan Dialog Tradisi dan Keberlanjutan Lewat Trunk Show Eksklusif

Sah! Brisia Jodie dan Jonathan Alden Mengikat Janji di Katedral

Resmi Jadi Ibu, Vior Melahirkan Putri Pertama dengan Nama Cantik, Wajah Baby V Bikin Penasaran

Akhirnya Sah! Dara Arafah dan Rehan Mubarak Resmi Menikah di Tanah Suci

Amanda Manopo Umumkan Hamil Anak Pertama, Sara Wijayanto Siap Jadi 'Buyang'