Foto: Freepik
Kalau anak susah lepas dari layar, orangtua sering buru-buru menyalahkan game atau YouTube. Padahal, akar masalahnya kadang justru ada di rumah. Bukan karena orangtua sengaja, tapi karena kebiasaan kecil yang tanpa sadar membuat anak makin terikat dengan screentime.
Anak nggak lahir dengan kecanduan layar. Mereka belajar dari lingkungan, terutama dari orang yang paling sering mereka lihat: orangtuanya. Jadi sebelum menuduh teknologi, mungkin perlu melihat dulu bagaimana kebiasaan kita di depan anak.
Anak rewel, kasih tontonan. Anak susah makan, buka video kartun. Anak nggak mau diam, kasih HP biar tenang.
Awalnya terlihat praktis, tapi perlahan anak belajar bahwa cara tercepat untuk merasa nyaman adalah dengan layar.
Otak mereka mulai mengaitkan kesenangan dengan warna-warna cerah dan suara cepat dari video. Tanpa itu, dunia terasa sepi. Padahal mereka cuma butuh ditenangkan dengan cara yang lebih hangat, seperti dipeluk, diajak ngobrol, atau diajak main.
TV kadang dibiarkan hidup meski nggak ada yang nonton. HP selalu di tangan, bahkan saat makan. Anak melihat semua itu dan menyimpulkan: layar adalah bagian dari kehidupan. Mereka tumbuh tanpa tahu gimana rasanya diam tanpa distraksi.
Kalau ingin anak bisa jeda, orangtua juga perlu memberi contoh. Matikan TV, taruh HP, dan ajak anak ngobrol tanpa gangguan. Kadang, sepuluh menit bicara tanpa notifikasi lebih berharga dari segalanya.
Anak yang bosan pasti mencari hiburan. Kalau mainan fisik jarang dipakai, dan tidak ada kegiatan menarik di rumah, maka layar jadi pelarian paling mudah.
Orangtua sering lupa bahwa anak nggak butuh mainan mahal. Mereka cuma butuh teman main dan sedikit ide. Main masak-masakan, menggambar bareng, atau bikin tenda dari selimut bisa jauh lebih menyenangkan daripada menatap layar sendirian.
Anak belajar dengan meniru, bukan mendengar. Mereka nggak akan ingat kata-kata “ jangan main HP terus”, tapi mereka ingat ekspresi orangtuanya yang sibuk menatap ponsel saat diajak bicara.
Anak butuh dilihat, bukan hanya dijawab sambil scroll. Saat mereka merasa diabaikan, layar jadi tempat mencari perhatian lain. Kadang cukup taruh HP di meja dan lihat mata anak ketika ia bercerita. Itu aja udah cukup bikin mereka merasa penting.
Kalimat “ kalau kamu beresin PR, baru boleh nonton” kelihatannya wajar. Tapi di kepala anak, itu membentuk pola bahwa layar adalah sesuatu yang spesial dan berharga. Akibatnya, makin dilarang makin diinginkan.
Layar seharusnya jadi alat hiburan biasa, bukan sesuatu yang ditinggikan. Lebih baik beri hadiah waktu main bareng atau pujian. Anak tetap senang, tapi tanpa menambah obsesi terhadap gawai.
Hari ini boleh dua jam, besok dilarang total, lusa dibiarkan seharian. Ketidakkonsistenan ini bikin anak bingung dan selalu menawar. Mereka jadi jago negosiasi karena tahu batasnya bisa bergeser. Orangtua juga jadi capek sendiri.
Yang dibutuhkan bukan larangan keras, tapi rutinitas yang jelas. Misalnya nonton hanya setelah makan malam atau di akhir pekan. Kalau aturannya sama setiap hari, anak lebih mudah menyesuaikan diri.
Banyak anak nonton sebelum tidur dengan alasan biar cepat ngantuk. Padahal, cahaya layar justru membuat otak tetap aktif. Begitu jadi kebiasaan, mereka sulit tidur tanpa tontonan. Akibatnya, kurang tidur dan makin rewel keesokan harinya.
Lalu, orangtua pun kembali menenangkan dengan video. Siklusnya nggak pernah berhenti. Padahal yang mereka butuhkan hanyalah rutinitas tenang sebelum tidur, seperti cerita, lagu pelan, atau pelukan.
Anak zaman sekarang jarang punya waktu untuk diam. Setiap menit diisi layar. Padahal rasa bosan itu penting. Dari bosan, muncul kreativitas. Dari diam, muncul ide bermain. Kalau setiap hening langsung diisi tontonan, anak kehilangan kemampuan untuk berimajinasi.
Coba beri mereka ruang untuk bosan. Kadang dari situ justru muncul ide-ide lucu yang nggak disangka.
Anak kecanduan layar bukan karena mereka lemah, tapi karena lingkungan mendukung ke arah sana. Orangtua pun nggak salah sepenuhnya, karena kita semua hidup di dunia yang serba digital.
Tapi perubahan tetap bisa dimulai dari hal kecil. Letakkan ponsel saat makan. Dengarkan cerita anak tanpa interupsi. Biarkan mereka main tanpa kamera.
Karena anak bukan butuh dunia digital yang sempurna, mereka cuma butuh kehadiran nyata. Dan kadang, itu berarti menatap wajahnya, bukan layar di depan kita.
Mengenal Tren Bayi Karnivora, Perlukah Moms Ikut Coba?
Hair Ampoule vs Hair Oil, Mana yang Lebih Worth It untuk Rambutmu?
Rahasia Diet Ala Jisoo BLACKPINK yang Simpel, Sehat, dan Nggak Menyiksa
7 Pasangan Zodiak yang Selalu Punya Chemistry Natural dan Gampang Nyambung Sejak Pertemuan Pertama
Momen Manis Taylor Swift Dampingi Selena Gomez di Hari Pernikahan