Bukan Pertanda Kuat, Anak yang Doyan Kekerasan Bisa Jadi Mengidap Conduct Disorder

Reporter : Firstyo M.D.
Rabu, 1 April 2020 11:00
Bukan Pertanda Kuat, Anak yang Doyan Kekerasan Bisa Jadi Mengidap Conduct Disorder
Apa sih penyebab anak doyan kekerasan?

Kalau ingat praktik kekerasan yang dilakukan anak-anak, saya langsung teringat ke masa SD. Ada seorang teman yang sangat doyan nonton gulat Smack Down. Nggak cukup nonton, dia juga mempraktikkan gerakan-gerakan Smack Down kepada temannya. Saya sempat takut pada si teman karena di kepala saya mereka yang suka mempraktikkan kekerasan adalah orang yang kuat.

Dua hal yang salah dari kisah di atas adalah teman saya nggak seharusnya menikmati kekerasan lalu mempraktikkannya ke teman dan pemikiran saya bahwa doyan kekerasan = kuat.

Menurut ilmu psikologi, kesukaan atas kekerasan ini bisa jadi indikasi seorang anak mengidap penyakit mental bernama conduct disorder.

1 dari 3 halaman

Conduct disorder biasanya terlihat dari kecenderungan anak untuk menikmati kekerasan.

American Academy of Child Psychiatry menjelaskan tanda umum yang ditunjukkan oleh anak pengidap conduct adalah ketika dia kejam terhadap orang lain atau hewan tanpa ada rasa kasihan sedikitpun. Ini akan berbuntut pada sikap negatif lain seperti suka memulai perkelahian, merusak sesuatu dengan sengaja, serta sering berbohong.

Buku The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder menjelaskan bahwa perilaku di atas muncul karena anak dengan conduct disorder kurang memiliki rasa empati, tidak bisa menunjukkan welas asih, serta tidak peduli pada keadaan di sekitar.

2 dari 3 halaman

Conduct disorder bisa dilihat sejak anak masih kecil, namun baru akan jelas terlihat saat dia mulai beranjak remaja.

National Center for Biotechnology Information mengatakan bahwa setidaknya 1-4 persen anak berusia 9-17 tahun memiliki kondisi mental seperti ini.

Penyebabnya pun masih belum bisa diketahui secara pasti, namun bisa diperkirakan hasil dari kombinasi beberapa faktor.

Yang pertama adalah dari abnormalitas fungsi otak, terutama di area prefrontal cortex yang mengatur penilaian serta sistem limbik yang mempengaruhi respon emosional.

Faktor lain bisa jadi dari lingkungan atau konsumsi tontonan, seperti teman SD yang saya ceritakan di atas.

3 dari 3 halaman

Para orang tua tentu bisa menjadi pembimbing yang tepat untuk mengenalkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, meskipun dia berada di lingkungan yang mendukung kekerasan atau menonton sesuatu yang penuh kontak fisik kasar, dia tetap bisa menyaring mana yang bisa ditiru dan mana yang lebih baik diabaikan.

Jadi, anak yang suka kekerasan itu nggak berarti dia kuat, ya. Tetap waspada para orang tua!

Beri Komentar