Adi Utarini: Ilmuwan Perempuan Indonesia yang Membuat Dengue Tak Lagi Menakutkan
Potret Prof. Adi Utarini | Foto: Instagram/@adiutarinimusik
Reporter : Abidah Ardelia
Prof. Adi Utarini, ilmuwan Indonesia yang menorehkan prestasi dunia lewat penelitian Wolbachia untuk menekan kasus demam berdarah.
Sejak awal menekuni dunia kesehatan masyarakat, Adi Utarini selalu percaya bahwa penelitian harus memberi dampak langsung bagi kehidupan orang banyak. Keyakinan itu membawanya pada perjalanan panjang sebagai peneliti penyakit menular, hingga kini namanya diperhitungkan di dunia internasional.
Di balik ketenangannya sebagai akademisi, ada kisah penuh perjuangan, dari membangun karier riset di Yogyakarta, merasakan duka kehilangan pasangan di awal pandemi, hingga mengubah wajah penelitian dengue lewat terobosan yang diakui dunia.
Awal Karier dan Latar Belakang
Adi Utarini lahir pada 4 Juni 1965. Sejak muda, ia menekuni bidang kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada 1989. Namun, alih-alih menjadi dokter praktik, ia memilih jalur akademisi dengan fokus pada kesehatan masyarakat.
Pilihan itu mengantarnya menempuh pendidikan S2 di University College London (Inggris) serta Umeå University (Swedia), sebelum akhirnya meraih gelar doktor di Umeå pada 2002 dengan riset mengenai pengendalian malaria di Jepara.
Di kampus UGM, ia mengajar sekaligus meneliti. Rekan-rekan menyapanya dengan panggilan Prof. Uut—sosok yang dikenal pendiam, tapi persuasif dan tegas. Semangatnya menggabungkan sains dengan pengabdian membuatnya dipercaya memimpin berbagai program kesehatan.
Terobosan Wolbachia
Titik balik kariernya datang ketika bergabung dalam World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta pada 2013. Bersama tim, ia meneliti metode inovatif menggunakan bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti. Bakteri ini membuat nyamuk tidak lagi bisa menularkan virus demam berdarah dengue (DBD).
Penelitian ini bukan hanya uji coba kecil, melainkan proyek besar dengan melibatkan masyarakat. Prof. Uut rajin mendatangi warga, berbicara dari rumah ke rumah, bahkan membuat mural dan video agar orang paham bahwa nyamuk ber-Wolbachia aman bagi manusia. Dukungan publik inilah yang membuat riset berjalan mulus.
Hasilnya mengejutkan. Pada 2020, uji lapangan menunjukkan penurunan kasus DBD hingga 77 persen di area yang dilepas nyamuk ber-Wolbachia. Temuan itu kemudian dipublikasikan di jurnal Nature dan disebut sebagai “bukti terkuat” efektivitas metode Wolbachia.
Keberhasilan ini membuat nama Adi Utarini melambung. Pada 2020, ia masuk daftar Nature’s 10, yakni sepuluh ilmuwan paling berpengaruh tahun itu. Setahun kemudian, giliran TIME Magazine menobatkannya dalam The 100 Most Influential People 2021.
Dalam profilnya di TIME, Melinda Gates menulis kekagumannya terhadap Prof. Uut, bukan hanya karena penelitian ilmiahnya, tetapi juga kemampuannya meyakinkan masyarakat untuk ikut serta. Menurut Gates, mungkin manusia bisa selamat dari dengue berkat Uut.
Tantangan dan Kehilangan
Meski berprestasi, perjalanan hidupnya tidak lepas dari ujian. Pada Maret 2020, suaminya, Prof. Iwan Dwiprahasto, meninggal akibat COVID-19. Tak lama kemudian, Adi Utarini juga terpapar virus yang sama dan harus dirawat hampir tiga minggu. Pengalaman itu disebutnya sebagai titik spiritual, yang akhirnya membuat ia memutuskan berhijab.
Di tengah duka, ia tetap melanjutkan riset dan memimpin timnya. Baginya, ilmu pengetahuan adalah cara terbaik untuk memberi harapan baru bagi masyarakat.
Sisi Lain dan Dampak yang Semakin Luas
Selain fokus pada penelitian, Uut juga memiliki kecintaan mendalam pada musik. Di bio Instagramnya, ia menuliskan kalimat sederhana namun bermakna, “Akademisi yang Merayakan Musik”. Bahkan, username yang ia pilih, @adiutarinimusik, semakin menegaskan betapa musik menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Ia bisa memainkan piano klasik hingga lagu rock progresif. Musik baginya adalah cara menjaga keseimbangan batin. Kadang, ia tampil di konser amal untuk menggalang dana. Kebiasaan ini membuatnya tetap lentur di tengah jadwal riset dan rapat yang padat.
Di sisi lain, dampak penelitiannya juga semakin luas. Hari ini, metode Wolbachia sudah diadopsi ke banyak wilayah lain di Indonesia dan menjadi acuan bagi negara-negara yang juga berjuang melawan dengue.
Uut terus mengajar di kampus, berdialog dengan pemda, dan hadir di forum masyarakat. Benang merah dari semua kiprahnya adalah membumikan ilmu agar benar-benar menyentuh kehidupan orang banyak.