Pergeseran Tren Konsumsi Matcha, Condong ke Rasa Ketimbang Teh Biasa

Reporter : Firstyo M.D.
Kamis, 9 Januari 2020 10:00
Pergeseran Tren Konsumsi Matcha, Condong ke Rasa Ketimbang Teh Biasa
Kenapa matcha jadi lebih bisa dinikmati saat berbentuk olahan ketimbang sebagai teh biasa?

Kamu pasti sudah akrab dengan kata 'matcha'. Matcha adalah olahan daun teh hijau dalam bentuk bubuk. Saat ini, matcha lebih sering dikonsumsi sebagai rasa dalam bentuk es krim atau cokelat ketimbang bentuk aslinya yakni dalam bentuk minuman teh. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Tren ini dimulai dari negara tempat lahir matcha; Jepang. Dikabarkan oleh Asia One (08/01), adalah Shigeko Suzuki, pemilik kedai teh dan perusahaan Marushichi Seicha yang mulai memproduksi bubuk matcha tradisional sejak 1998. Bergerak sejak lama, hingga saat ini Marushichi Seicha telah mengekspor bubuk matcha ke banyak negara di Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan tentu saja Amerika.

Saat itu, beberapa negara sudah meminta suplai bubuk matcha untuk es krim dan kudapan. Namun hal itu hanya terjadi di luar negeri saja, belum di dalam Jepang. Imbas dari hal tersebut, jumlah ekspor matcha dari Jepang mencapai angka 5000 ton, meningkat sepuluh kali lipat dibanding dua dekade lalu.

Sebaliknya, tingkat konsumsi teh hijau di dalam Jepang sendiri malah menurun, dari 1174 gram per rumah tangga pada 2001 menjadi 844 saja pada 2015. Rupanya penurunan konsumsi ini sudah dibaca oleh Suzuki.

"Jumlah penduduk yang menikmati teh murni secara rutin sudah menurun drastis, nggak seperti dulu. Sekarang orang lebih menikmati teh yang sudah diolah ke dalam bentuk makanan," ujar pengusaha berusia 55 tahun tersebut.

Suzuki pun mulai mengembangkan kedai tehnya dengan membuat varian matcha dalam bentuk gelato. Matcha gelato yang dijual Suzuki memiliki tujuh tingkatan rasa pahit. Jadi matcha tidak kehilangan kekhasannya meskipun diubah dalam wujud yang lebih baru. Sejak saat itu lah olahan matcha mulai menyebar ke seluruh Jepang, menggantikan posisi olahan matcha murni untuk dikonsumsi.

Faktor lain adalah tidak adanya penerus generasi petani teh di Jepang. Saat ini saja, petani teh tertua berusia di atas 80 tahun dan masih aktif bertani. Bertambahnya usia yang nggak diiringi adanya suksesor ini membuat jumlah panen pun turut berkurang.

Yoshio Shoji, seorang petani teh berusia 67 tahun, bahkan sudah turut serta menanam daun teh hijau untuk diolah menjadi matcha--setelah sebelumnya menanam sencha--karena permintaan dan harga yang lebih tinggi.

"Sencha hanya dinikmati oleh orang-orang tua penikmat teh, yang rata-rata sudah berusia di atas 60 tahun. Sementara generasi muda, yang jumlahnya lebih banyak, cenderung lebih suka menikmati olahan matcha. Jadi yang kami lakukan hanya mengikuti pasar," ujar Shoji.

Meski begitu Shoji memandang ini sebagai modernisasi dari budaya tradisional Jepang, yakni budaya minum teh.

"Budaya minum teh kami nggak hilang. Semua olahan matcha itu cuma menunjukkan kalau budaya kami pun bisa nampak modern dan keren," tutupnya.

Jadi, kalau kamu lebih suka matcha dalam bentuk teh murni atau olahan nih? Tulis di kolom komentar ya!

Beri Komentar