Marsinah, Aktivis Buruh Perempuan dari Nganjuk yang Kini Diakui Sebagai Pahlawan Nasional

Reporter : Abidah Ardelia
Selasa, 11 November 2025 14:09
Marsinah, Aktivis Buruh Perempuan dari Nganjuk yang Kini Diakui Sebagai Pahlawan Nasional
Meski tidak bisa menghapus tragedi yang menimpanya, langkah ini penting karena negara akhirnya mengakui perjuangan seorang buruh perempuan.

Nama Marsinah dulu mungkin hanya dikenal di kalangan aktivis buruh. Sekarang, namanya resmi tercatat dalam daftar pahlawan nasional Indonesia. Seorang buruh perempuan dari Nganjuk, Jawa Timur, yang hidupnya tidak pernah lepas dari soal upah, lembur, dan aturan pabrik, kini dikenang sebagai simbol perjuangan kelas pekerja dan keberanian perempuan menghadapi ketidakadilan.

Perjalanannya dimulai dari desa kecil bernama Nglundo, di Kecamatan Sukomoro. Lahir pada 10 April 1969, ia tumbuh dalam keluarga sederhana dan banyak diasuh oleh nenek serta bibinya.

Sejak kecil, Marsinah sudah terbiasa membantu ekonomi keluarga dengan ikut berjualan makanan ringan. Sekolahnya hanya sampai tingkat menengah atas karena biaya tidak mencukupi. Cerita hidupnya mirip dengan banyak buruh perempuan lain di Indonesia yang harus berhenti sekolah demi bertahan hidup.

Meski begitu, ia dikenal cerdas, mandiri, dan punya pendirian kuat. Di sekolah, ia bukan tipe yang banyak tingkah, tetapi tekun dan berani menyampaikan pendapat jika merasa ada yang tidak adil. Sifat itulah yang membawanya ke garis depan gerakan buruh.

1 dari 6 halaman

Buruh Perempuan yang Tidak Mau Diam

Setelah lulus SMA, Marsinah merantau ke kota. Ia sempat bekerja di beberapa pabrik sebelum akhirnya masuk ke pabrik jam tangan PT Catur Putra Surya di Porong, Sidoarjo.

Di lingkungan pabrik inilah karakter aslinya semakin terlihat. Ia bukan sekadar datang, absen, lalu pulang dengan lelah. Ia menyimak isi pengumuman, membaca aturan, dan mulai bertanya mengapa hak buruh sering tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Pelan pelan, teman-teman kerja mulai datang padanya untuk bertanya soal upah, lembur, dan aturan ketenagakerjaan.

Marsinah gemar membaca, termasuk koran dan tulisan tentang hukum perburuhan. Itu membuatnya paham bahwa buruh punya hak yang sudah diatur, bukan sekadar menerima nasib. Ia sering berdiri paling depan ketika ada keluhan yang harus disampaikan kepada manajemen.

Sebagai perempuan, keberaniannya terasa berlipat. Di tengah budaya pabrik yang maskulin dan hirarkis, suara perempuan sering dianggap pelengkap saja.

Namun, Marsinah memilih bersuara lantang, membela rekan-rekannya yang diperlakukan tidak adil. Untuk banyak buruh perempuan, kehadirannya menjadi bukti bahwa mereka juga bisa mengambil peran penting dalam gerakan pekerja, bukan hanya berdiri di belakang.

2 dari 6 halaman

Mogok Kerja dan Hari-Hari Terakhir

Awal 1993, pemerintah daerah mengeluarkan imbauan agar perusahaan menaikkan gaji pokok buruh. Bagi para pekerja PT Catur Putra Surya, ini adalah harapan.

Namun, pihak perusahaan tidak kunjung menerapkan ketentuan tersebut. Ketegangan pun muncul. Para buruh kemudian merencanakan aksi mogok kerja pada awal Mei 1993.

Marsinah terlibat aktif dalam rapat persiapan dan aksi mogok yang berlangsung selama dua hari. Mereka menuntut kenaikan upah dan perbaikan hak hak kerja yang selama ini diabaikan. Aksi itu berhasil menekan perusahaan sehingga sebagian besar tuntutan dikabulkan.

Namun sesudah itu, tekanan balik datang. Sejumlah buruh dipanggil ke kantor militer setempat dan dipaksa mengundurkan diri.

Marsinah tidak tinggal diam ketika mengetahui hal ini. Ia menulis surat untuk memberi panduan pada teman temannya jika diinterogasi. Ia juga mendatangi pihak terkait untuk mempertanyakan nasib rekan rekannya. 

3 dari 6 halaman

Kematian yang Menggemparkan Indonesia

Beberapa hari setelah aksi mogok di pabrik PT Catur Putra Surya, Marsinah tiba-tiba menghilang. Rekan-rekannya mulai cemas karena ia tidak muncul lagi di tempat kerja. Ia terakhir kali terlihat pada 5 Mei 1993.

Tiga hari kemudian, 8 Mei 1993, tubuhnya ditemukan di sebuah gubuk di area persawahan Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, berjarak sekitar 100 kilometer dari tempatnya bekerja di Sidoarjo.

Kabar penemuan itu mengejutkan publik. Marsinah ditemukan sudah tidak bernyawa, dengan tubuh penuh luka.

Laporan autopsi dari Rumah Sakit Bhayangkara Kediri mencatat adanya luka parah di bagian perut, dada, dan alat kelamin. Tulang panggulnya patah, tulang kemaluan hancur, dan ada tanda-tanda kekerasan hebat di sekujur tubuh.

Temuan itu menunjukkan bahwa ia bukan sekadar menjadi korban pembunuhan, tetapi juga mengalami penyiksaan brutal sebelum meninggal.

Laporan lain dari dokter forensik juga menyebutkan bahwa kematiannya diperkirakan terjadi sekitar 36 jam sebelum jasadnya ditemukan. Artinya, Marsinah kemungkinan diculik dan disiksa selama dua hari sebelum akhirnya dibunuh.

Temuan medis ini memperkuat dugaan bahwa kematiannya bukan kriminal biasa, melainkan berkaitan erat dengan aktivitasnya sebagai buruh yang vokal dalam aksi mogok kerja.

4 dari 6 halaman

Penyelidikan dan Kejanggalan

Setelah kasus ini mencuat, tekanan publik memaksa pemerintah untuk turun tangan. Tim investigasi dibentuk di bawah koordinasi Bakorstanasda Jawa Timur, lembaga militer yang saat itu memiliki wewenang besar dalam urusan keamanan. Namun, alih-alih mengarah pada pelaku sesungguhnya, penyelidikan justru dipenuhi kejanggalan.

Sebanyak sembilan orang yang terdiri dari petinggi dan karyawan PT Catur Putra Surya ditangkap dan dijadikan tersangka. Pengakuan mereka kemudian dijadikan dasar untuk menuntut bahwa pembunuhan Marsinah adalah akibat konflik internal perusahaan.

Namun, belakangan terungkap bahwa pengakuan tersebut diperoleh melalui penyiksaan dan tekanan fisik selama interogasi.

Proses hukum sempat berjalan di pengadilan Surabaya. Beberapa orang dijatuhi hukuman antara 4 hingga 17 tahun penjara. Namun pada 1995, Mahkamah Agung memutuskan membebaskan seluruh terdakwa dengan alasan tidak cukup bukti dan adanya pelanggaran prosedur dalam penyidikan.

Dengan keputusan itu, kasus pembunuhan Marsinah resmi berhenti di tengah jalan, tanpa pelaku yang benar-benar dimintai pertanggungjawaban.

5 dari 6 halaman

Dari Monumen, Lagu, sampai Panggung Teater

Warisan Marsinah tidak berhenti pada catatan pengadilan. Kisahnya diangkat ke film, lagu, hingga pementasan teater. Di Nganjuk, berdiri monumen Pahlawan Buruh Marsinah sebagai pengingat bahwa dari kota kecil itu pernah lahir seorang perempuan yang berani menantang ketidakadilan.

Musisi dan seniman mengabadikan namanya dalam karya. Aktivis dan mahasiswa menjadikannya contoh ketika berbicara soal hak buruh dan kebebasan berserikat.

Setiap kali isu pemutusan hubungan kerja sepihak muncul, setiap kali pekerja dipaksa memilih antara patuh atau kehilangan penghasilan, nama Marsinah kembali disebut sebagai pengingat bahwa ada harga mahal yang pernah dibayar untuk hak buruh di negeri ini.

6 dari 6 halaman

Akhirnya Diakui Negara

Selama bertahun tahun, serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil mendorong agar negara mengakui Marsinah sebagai pahlawan nasional. Mereka menilai perjuangannya tidak kalah penting dibanding tokoh-tokoh lain yang namanya sudah lebih dulu diabadikan.

Proses itu panjang dan berlapis, melibatkan kajian sejarah, advokasi publik, dan dukungan dari pemerintah daerah tempat ia dilahirkan.

Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, penantian itu berakhir. Pemerintah resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Marsinah sebagai tokoh perjuangan sosial dan kemanusiaan.

Keluarganya diundang ke istana untuk menerima penghargaan tersebut. Air mata haru mengalir ketika namanya disebut sebagai salah satu penerima gelar pahlawan tahun itu.

Pengakuan ini tidak bisa menghapus tragedi yang menimpanya. Namun, bagi banyak buruh dan aktivis, langkah ini penting. Negara akhirnya mengakui bahwa perjuangan seorang buruh perempuan menjaga martabat dan hak pekerja adalah bagian dari perjuangan besar bangsa.

Beri Komentar