Kisah Sephia Chrisilla Jangkup, Dokter Perempuan Pertama dari Suku Amungme

Reporter : Abidah Ardelia
Rabu, 15 Oktober 2025 13:14
Kisah Sephia Chrisilla Jangkup, Dokter Perempuan Pertama dari Suku Amungme
Sephia menjadi dokter perempuan pertama dari Suku Amungme setelah menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Kristen Indonesia.

Nama Sephia Chrisilla Jangkup kini dikenal sebagai dokter perempuan pertama dari Suku Amungme, salah satu suku yang tinggal di wilayah pegunungan Mimika, Papua Tengah.  Ia lahir pada 15 September 2000 di Sukabumi, Jawa Barat, namun keluarganya berasal dari Kampung Aroanop, Distrik Tembagapura, Mimika.

Setelah menempuh pendidikan panjang di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, ia menuntaskan studi sarjana dan profesinya, lalu mengikuti sumpah dokter di Jakarta. Gelar itu menandai perjalanan panjang sekaligus awal dari langkah barunya untuk kembali ke kampung halaman, Aroanop.

Perjalanan Panjang Menuju Gelar Dokter

Sejak kecil, Sephia sudah bercita-cita menjadi dokter. Ia bertekad untuk kembali ke kampung halamannya dan memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi masyarakat Aroanop. “Sejak kecil saya sudah berpegang teguh bahwa saya harus menjadi dokter di kemudian hari,” ujarnya.

Jalan menuju impian itu tidak mudah. Ia harus meninggalkan kampung, beradaptasi di kota besar, dan menjalani proses pendidikan yang menuntut disiplin tinggi.

Selama masa kuliah, ia dikenal tekun dan tidak mudah menyerah. Jadwal belajar yang padat, ujian bertubi-tubi, dan masa koas yang panjang menjadi bagian dari kesehariannya. Meski begitu, ia terus melangkah sampai akhirnya resmi menyandang gelar dokter dengan IPK profesi 3,57.

1 dari 3 halaman

Latar Belakang dan Dukungan Keluarga

Sephia memang tidak tumbuh langsung di Papua, tetapi ia sangat dekat dengan keluarganya di Aroanop, kampung yang berada di lereng pegunungan Mimika.

Untuk bisa bersekolah hingga jenjang tinggi, ia harus merantau sejak remaja. Ia tinggal jauh dari keluarga, namun dukungan orang tua dan kerabatnya di kampung tetap mengalir lewat pesan, doa, dan semangat agar ia bisa menyelesaikan pendidikannya.

Karena itu, keberhasilan Sephia menjadi dokter merupakan kebanggaan besar bagi mereka. Ia sering menyebut keluarganya sebagai sumber kekuatan terbesar selama belajar, terutama di masa-masa sulit ketika rasa rindu rumah datang di tengah kesibukan kuliah.

2 dari 3 halaman

Proses Pendidikan yang Tidak Singkat

Sephia memulai studinya di UKI pada 2018. Masa pendidikan kedokteran ditempuh selama 3,5 tahun, kemudian dilanjutkan dengan 2 tahun masa kepaniteraan klinik (koas) di sejumlah rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya. Setelah menyelesaikan ujian kompetensi, ia mengikuti prosesi pengambilan sumpah dokter pada Januari 2025.

Selama koas, Sephia belajar menangani beragam kasus medis di berbagai departemen. Pengalaman praktik itu melatihnya berpikir cepat dalam situasi gawat darurat dan berinteraksi dengan berbagai karakter pasien, sesuatu yang kelak berguna ketika ia bertugas di daerah dengan kondisi lapangan yang menantang.

Kembali ke Papua

Setelah lulus, Sephia akan menjalani masa internship selama satu tahun untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) sebelum bertugas di Mimika. Ia ingin menyalurkan ilmu yang ia pelajari untuk membantu masyarakat di daerah yang dulu membesarkannya. Ia menyebut dua rumah sakit yang menjadi pilihan tempat pengabdian, yakni RS Mitra Masyarakat Timika dan RS Waa-Banti.

Bagi Sephia, keputusan pulang bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk tanggung jawab moral kepada tanah tempat ia tumbuh.

“ Terima kasih atas support karena sudah membiayai saya hingga meraih gelar dokter,” ucapnya singkat setelah pengukuhan. Ia merujuk pada dukungan beasiswa yang diterimanya selama kuliah dari PT Freeport Indonesia melalui YPMAK. 

3 dari 3 halaman

Dokter Pertama dari Suku Amungme

Sebelum Sephia, belum ada perempuan Amungme yang berprofesi sebagai dokter. Sebagian besar warganya bekerja di sektor pendidikan, pemerintahan, atau pertanian. Karena itu, keberhasilan ini memiliki makna tersendiri bagi komunitasnya.

Selain itu, wilayah Papua, terutama di daerah pegunungan, memang masih menghadapi keterbatasan tenaga kesehatan. Di Kabupaten Mimika sendiri, sebagian besar dokter masih berasal dari luar daerah.

Kehadiran tenaga medis lokal seperti Sephia diharapkan dapat mempermudah komunikasi dan pemahaman budaya pasien yang berbeda dari wilayah perkotaan.

Beri Komentar