Mama Aleta, Penenun yang Menyelamatkan Gunung dan Martabat Orang Mollo
Mama Aleta, Penenun Yang Menyelamatkan Gunung Dan Martabat Orang Mollo | Foto: Instagram/@aletabaun479
Reporter : Abidah Ardelia
Gelombang dukungan yang meluas, aksi menenun yang konsisten, serta tekanan publik yang meningkat akhirnya mendorong operasi tambang berhenti.
Dari wilayah Mollo di Timor Barat, nama Aleta Baun akrab dipanggil Mama Aleta tumbuh sebagai figur yang kuat membela ruang hidup. Sejak akhir 1990an, ia berdiri di depan melawan rencana penambangan marmer yang mengincar kawasan batu dan hutan yang menjadi identitas orang Mollo.
Bagi komunitasnya, batu bukan sekadar benda mati. Dalam pemahaman adat, batu disamakan dengan tulang, air dengan darah, tanah dengan daging, hutan dengan kulit, paru dan rambut. Kerusakan alam dipandang setara dengan melukai tubuh sendiri. Penjelasan puitis ini kerap ia pakai agar orang bisa menangkap betapa rapuhnya keseimbangan hidup jika gunung dikeruk dan mata air dicemari.
Perlawanan itu tidak mulus. Di akhir 1990an hingga pertengahan 2000an, tekanannya datang dari banyak arah. Ia pernah menjadi incaran dan harus bersembunyi. Pada saat yang sama, kebutuhan rumah tangga tetap berjalan. Karena itu, ia kerap berangkat malam, berpindah kampung untuk mengorganisir warga, lalu kembali ketika hari mulai terang.
Di tengah semua keterbatasan, ia menegaskan alasan mengapa harus terus berjalan. “Ketika berjuang saya tahu harus tinggalkan keluarga. Membagi prioritas yang juga saya perjuangan untuk hak masyarakat. Bukan saya tak peduli dengan keluarga sendiri, tapi prinsip keberlanjutan hidup adalah kita dilahirkan untuk orang lain bukan untuk diri sendiri,” ujarnya, seperti yang dilansir dari CNN.
Menenun sebagai Perlawanan
Seperti dikutip dari Mongabay Indonesia, salah satu bab paling dikenang dari gerakan Mollo adalah aksi duduk di lokasi tambang sambil menenun. Ratusan perempuan adat hadir setiap hari, menghamparkan alat tenun di atas bongkah marmer. Selama berbulan-bulan mereka menjadikan kain sebagai bahasa protes yang damai.
Tenun bukan sekadar keterampilan ibu ke anak, tetapi identitas yang merekatkan pengetahuan, pangan, warna alami, dan ritus harian. Cara ini menyedot perhatian luas. Tekanan sosial dan moral terhadap penambang makin besar, sementara kampung-kampung lain ikut memberi dukungan.
Dalam budaya Mollo, perempuan memiliki posisi kuat terkait tanah dan pengelolaan sumber pangan. Karena itu, gerakan ini tidak menafikan peran laki-laki, hanya membaginya. Laki-laki menjaga rumah, memasak, mengasuh anak, dan memastikan logistik aksi berjalan. Perempuan duduk, menenun, dan bernegosiasi di garis depan. Pola ini membuat aksi tidak mudah dituduh anarkis. Suaranya menguat tanpa harus berteriak.
Ancaman, Stigma, dan Keberanian
Melawan investasi besar sering berarti berhadapan dengan intimidasi. Tekanan dari aparat atau preman bayaran pernah datang silih berganti. Stigma juga menghantam kehidupan pribadi. “Saya sampai dianggap pelacur karena sering di luar rumah. Dikatakan perempuan malam, tidak punya harga diri, naik ojek turun ojek, tidak tidur di rumah, tidak urus rumah tangga, bahkan dituduh selingkuh dengan tukang ojek,” kenangnya.
Namun, ia dan para perempuan tidak berhenti. Mereka melihat kerusakan hutan sebagai ancaman langsung pada dapur dan sumur keluarga. Air bersih, kebun pangan, dan pewarna alami untuk benang, semuanya bersumber dari lanskap yang sama. Jika gunung rusak, rantai kehidupan putus.
Di banyak kesempatan, Aleta mengingatkan bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya ruang gerak hari ini. “Asal muasal leluhur kami akan hilang ketika gunung batu dihancurkan, hutan dan sumber air rusak. Perempuan, seorang ibu seperti saya adalah yang paling menderita. Kami yang bertanggung jawab menyediakan air dan makanan untuk keluarga,” kata Aleta. Kalimat itu meneguhkan mengapa perempuan adat menjadi tulang punggung perlawanan di Mollo.
Kemenangan Lingkungan dan Panggung Dunia
Gelombang dukungan yang meluas, aksi menenun yang konsisten, serta tekanan publik yang meningkat akhirnya mendorong operasi tambang berhenti. Bagi komunitas Mollo, ini penanda bahwa strategi damai sangat mungkin mengubah kebijakan.
Tahun 2013, Aleta menerima Goldman Environmental Prize. Ia berdiri di panggung internasional membawa cerita perempuan penenun yang memulihkan martabat ruang hidup. Penghargaan itu ia persembahkan bukan sebagai kemenangan pribadi. “Saya persembahkan ini bagi orang Mollo, Amanuban dan Amantun,” ucapnya mengingat momen pidato penerimaan.
Hadiah uang dari penghargaan itu tidak ia pakai untuk diri sendiri. Ia memilih menitipkan pengelolaannya melalui Samdhana Institute dan lahirlah Mama Aleta Fund. “Saya memikirkan bagaimana bisa melanjutkan perjuangan saya, selamatkan dan memulihkan alam. Bagaimana dana yang saya simpan selama beberapa tahun ini diberikan untuk yang akan melanjutkan pekerjaan dalam menjaga lingkungan,” tutur Aleta.
MAF memprioritaskan dukungan bagi perempuan dan komunitas yang bersinggungan langsung dengan isu lingkungan. “Siapa saja yang mau partisipasi, mekanisme untuk penggunaan dana sendiri tentu ada pengajuan dulu. Prioritas untuk kaum perempuan dan lingkungan, itu penting karena yang bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia, untuk keberlanjutannya,” katanya.
Di Nusa Tenggara Timur, dukungan ini menjadi bahan bakar kecil namun berarti bagi upaya pemetaan hutan adat, restorasi lahan, dan penguatan ekonomi lokal yang selaras alam.
Pengetahuan Lokal, Pangan, dan Suara yang Terus Tumbuh
Gerakan Mollo tidak berhenti pada penghentian tambang. Aleta dan jejaringnya mendorong kemandirian melalui benang kapas dan pewarna alami, mengajarkan kembali teknik menenun yang selaras dengan kebun dan hutan. Mereka merawat kembali jenis tanaman penghasil warna seperti suji, angkai, hingga kulit kayu tertentu.
Suara Aleta juga hadir di forum kebijakan. Ia ikut mendorong isu perlindungan wilayah adat dan menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh merampas hak komunitas. Ia dan para Nausus, sebutan untuk perempuan pembela lingkungan di garis depan, mengajak generasi muda memahami kembali pengetahuan leluhur.
Pendidikan nonformal yang berakar di kampung dinilai penting agar anak tidak tercerabut dari konteks hidupnya. Dengan demikian, tenun, kebun, mata air, dan hutan bukan cerita museum, melainkan bagian dari masa depan.