Kisah Aishah Prastowo, Doktor Oxford yang Pilih Jadi Guru di Sleman
Aishah Prastowo, Doktor Oxford Yang Pilih Jadi Guru Di Sleman | Foto: Instagram/@aishahprastowo
Reporter : Abidah Ardelia
Aishah tak memandang profesi guru sebagai langkah mundur. Menurutnya, menjadi pendidik justru memperluas dampak yang bisa ia berikan.
Tidak semua orang yang menempuh pendidikan di kampus sekelas Oxford berakhir di laboratorium atau perusahaan besar. Aishah Prastowo memilih jalan berbeda. Setelah meraih gelar doktor di bidang Engineering Science dari University of Oxford, ia justru pulang ke Yogyakarta dan menjadi guru sekaligus kepala sekolah di Praxis High School, sekolah alternatif berbasis STEAM di Sleman.
Aishah merupakan penerima beasiswa LPDP angkatan awal tahun 2014. Ia berangkat ke Inggris pada usia 23 tahun untuk menempuh pendidikan doktoral.
Bidang yang ia ambil sangat teknis, yaitu mikrofluida multifase, studi tentang perpindahan cairan dalam volume super kecil yang bermanfaat untuk pengembangan alat diagnostik penyakit di daerah pelosok.
Namun, setelah menyelesaikan studi pada 2019, arah hidup Aishah berubah. Ia menikah, kemudian fokus membesarkan anak pertamanya. Pandemi COVID-19 membuatnya beradaptasi dan mulai terlibat dalam berbagai kegiatan mengajar. Dari situ, ia menemukan kembali panggilan hidupnya: pendidikan.
Perjalanan Akademik yang Panjang
Aishah tumbuh di keluarga akademisi. Ayahnya adalah dosen Fisika di Universitas Gadjah Mada (UGM), sementara ibunya lulusan Kimia dari kampus yang sama. Saat kecil, ia sempat tinggal di Kanada karena mengikuti sang ayah yang tengah menempuh S3 di Queen’s University. Dari sanalah rasa ingin tahunya terhadap dunia sains mulai tumbuh.
Ia menempuh pendidikan S1 di Teknik Fisika UGM pada 2007, lalu melanjutkan S2 di Université Paris Descartes, Prancis, dengan jurusan Interdisciplinary Approach to Life Science.
Semasa kuliah, Aishah aktif dalam riset lintas bidang dan mendapat beasiswa dari pemerintah Prancis. Di sinilah ia mulai tertarik untuk mendalami penelitian mikrofluida, hingga akhirnya melanjutkan ke jenjang S3 di Oxford.
Tentang tantangan selama kuliah, Aishah mengaku mental adalah kunci utama bertahan. “Mentalnya yang sangat diperjuangkan, karena tentunya kita harus beradaptasi dengan kultur di sana dan bagaimana mahasiswa lain pada ambis semua,” tuturnya.
Dari Peneliti Jadi Pengajar
Setelah lulus, Aishah sempat menjadi dosen peneliti dan konsultan akademik. Tapi pandemi membuatnya memutar arah. Ia banyak mengajar secara daring, mulai dari kelas academic writing, pelatihan riset untuk mahasiswa, hingga mendampingi siswa SMP dan SMA yang ikut lomba penelitian nasional seperti LKTI dan OPSI.
Dari situ, ia menyadari bahwa ilmu tak harus dibagikan lewat jurnal semata. Ia bisa memberi dampak langsung lewat ruang kelas. Aishah kemudian bergabung di Alta Global School sebelum akhirnya dipercaya membangun dan memimpin Praxis High School.
“Praxis High School sendiri adalah sekolah setingkat SMA. Sebelumnya kami adalah Praxis Academy, itu semacam IT bootcamp. Jadi visinya itu memang menjembatani antara lulusan kuliah atau dunia akademik dengan dunia kerja,” jelasnya, dikutip dari laman LPDP.
Sekolah ini berfokus pada pendekatan STEAM, yaitu Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics. Meski baru berdiri, murid-muridnya sudah menorehkan prestasi, salah satunya memenangkan Judges Choice Award di ajang robotika internasional FIRST Tech Challenge di Vietnam.
Dedikasi yang Tak Berubah
Aishah tak memandang profesi guru sebagai langkah mundur. Menurutnya, menjadi pendidik justru memperluas dampak yang bisa ia berikan. Ia masih menyalurkan semangat penelitian lewat siswanya, hanya dengan cara yang berbeda.
“Saya tetap mencintai dunia penelitian, tapi kayak love language-nya sekarang berbeda gitu ya,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya dampak kecil yang nyata dibanding pencapaian besar yang jauh. “Jangan takut atau merasa minder, jangan merasa down kalau dirasa belum memberikan impact yang besar. Justru impact-impact yang kecil ini yang bisa lebih dirasakan buat orang di sekitar kita,” pesan Aishah.
Dapat Pujian dari Sri Mulyani
Kisah Aishah juga menarik perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani. Melalui unggahan di Instagram, Sri Mulyani menulis kutipan dari Aishah, “Dulu waktu bikin esai LPDP, saya bilangnya mau jadi peneliti. Sepuluh tahun berlalu, saya jadi guru SMA.”
Ia melanjutkan, “Dari perjalanan Aishah, kita belajar bahwa rencana hidup bisa berubah, tetapi dedikasi dan cinta pada ilmu tidak pernah surut. Ini contoh bahwa rencana memang bisa berubah, tetapi dedikasi akan tetap menemukan jalannya.”
Menkeu juga menyampaikan terima kasih kepada Aishah karena telah menjadi sosok inspiratif bagi generasi muda Indonesia.